Mambang mengatakan konflik gubernur dan
wakil gubernur akan terus terjadi karena dalam Undang-Undang tentang
Pemerintah Daerah posisi gubernur dan wakilnya ditempatkan dalam satu
"kotak" namun wewenang wakil gubernur tidak diatur secara jelas. Dengan
begitu, keputusan gubernur menjadi sangat mutlak sebagai lembaga
eksekutif, sedangkan peran wakil gubernur tidak diatur secara
signifikan.
"Dalam aturannya, eksekutornya hanya gubernur. Wakil gubernur hanya
bersuara hanya untuk dilihat, jadi sampai kapan pun agak sulit untuk
mencegah terjadi konflik," ujarnya.
Mambang mengakui hal tersebut kerap menimbulkan kekeliruan dalam roda
pemerintahan, salah satu kasus yang pernah terjadi saat pelantikan
pejabat kepala dinas Pemprov Riau pada tahun lalu. Saat itu Rusli Zainal
yang berhalangan hadir memerintahkan Sekretaris Daerah Wan Syamsir Yus
untuk menggantikan dalam pelantikan, padahal pada waktu yang sama
Mambang Mit ada.
"Saya pernah cegat sebuah pelantikan karena saya bekas dari Sekda dan
Baperjakat. Kalau tidak prosedural saya berkewajiban dan menundanya,
tapi karena eksekutornya bukan saya maka Sekda pun berani melawan wakil
gubernur," ujar Mambang berkeluh kesah.
Namun menurut Mambang lagi, untung saat itu ia bisa menahan diri untuk
tidak bersikap frontal melawan kebijakan tersebut. Ia mengatakan selama
ada kesepakatan bersama mengenai pembagian kerja antara gubernur dan
wakil gubernur. Mambang mencohtkan di daerah lain hal itu bisa terjadi
seperti di Sumatera Barat saat kepemimpinan Gubernur Gamawan Fauzi,
Kalimantan Tengah lewat Teras Narang dan Jokowi-Ahok di DKI Jakarta.
"Kalau kepemimpinan bisa seimbang, daerah pasti akan maju," ujarnya.
Post a Comment